Proses Komposting

Latar Belakang dan Definisi

Alam telah menghasilkan kompos di permukaan bumi selama hampir 400 juta tahun. Kompos menyediakan humus pada lapisan atas tanah dan membantu pertumbuhan tanaman. Komposting bukanlah proses berteknologi tinggi, tapi bagaimana pun juga, komposting aerobik skala besar mencakup banyak tantangan teknologi, beberapa diuraikan pada bagian ini, lainnya hanya di bagian Lesson learned.

Negara Eropa dan Amerika Serikat memiliki suatu konvensi yang menyatakan bahwa hanya hasil dari dekomposisi aerobik yang dapat disebut sebagai kompos. Harapannya agar Indonesia mengikuti konvensi ini. Produk anaerobik memiliki kualitas buruk dan hanya boleh disebut sebagai soil conditioner untuk alasan-alasan yang sudah dijelaskan pada bagian Kompos kami.

Sejak 2004, riset dilakukan untuk memahami komposting skala besar pada iklim tropis dengan bahan baku tropis. Memahami prosesnya telah merujuk pada aspek-aspek proses spesifik yang berbeda dengan pendekatan umum di negara barat.

Pemilahan dan komposting TEMESI berlangsung di area di bawah atap seluas 4.740 m2. Atap penting untuk melindungi para pekerja yang berjumlah sekitar 130 orang dari hujan, sementara belum terbukti apakah penting untuk melindungi proses komposting.

Sampah yang masuk ke fasilitas dipisahkan menjadi organik (85%), materi daur ulang lainnya (5%) dan residu (10%). Organik diproses berdasarkan sistem kualitas tipe ISO 9000 yang menjamin prosedur standar yang menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Dari 50 ton sampah yang dikelola setiap hari, 42,5 ton merupakan sampah organik yang dapat diubah menjadi 15 ton kompos berkualitas tinggi.

Blower-blower besar memasukkan udara ke dalam tumpukan sampah organik, dicampur dan digemburkan secara teratur untuk menjaga kondisi optimal. Kandungan oksigen dijaga pada kisaran 12%, sementara kandungan kelembaban dijaga pada kisaran 40 sampai 60%. Mikroorganisme aerobik aktif menghasilkan panas selama proses penguraian. Suhu dapat mencapai di atas 70 °C, yang akan mensterilkan kompos, seperti membuatnya bebas dari bibit rumput liar, telur dan larva serangga atau patogen seperti E. Coli. Project memiliki seluruh peralatan yang diperlukan untuk mengukur suhu, kandungan air dan oksigen secara elektronis.

Kemampuan menghasilkan Keuntungan

Sampah yang masuk ke fasilitas sangat tinggi kandungan organiknya dan rendah dalam bahan daur ulangnya karena bahan-bahan berharga yang dapat dijual sudah diambil terlebih dahulu oleh para pemulung, suatu hal kurang menyenangkan yang dapat terjadi di mana saja. Hal ini menimbulkan beban yang berat pada fasilitas untuk menghasilkan keuntungan ekonomis. Hal lain yang juga memberatkan adalah tingginya subsidi pupuk kimia, yang mencapai sekitar 90%. Hal ini yang tidak memungkinkan akses ke pasar pertanian yang luas.

Karena subsidi ini, pengambilan sampah oleh pemulung dan tidak adanya retribusi pembuangan sampah, fasilitas hanya mampu menutupi 50% dari biaya operasionalnya. Sisa 50% lainnya ditutup dari CDM Carbon Credits.

Teori Komposting

Produksi kompos adalah hasil dari interaksi mikroba dengan bahan organik, oksigen dan air. Karena komposting merupakan proses aerobik (memerlukan oksigen), proses ini hanya terjadi saat cukup udara tersedia. Jika lapisan organik lebih tebal dari 60 cm, proses dekomposisi dapat bergeser ke arah anaerobik (tanpa oksigen).

Patokan untuk menjaga proses komposting tetap aerobik adalah kandungan oksigen lebih dari 6% dan kandungan air pada kisaran 40 sampai 60%. Kandungan air di bawah 40% akan mematikan aktivitas mikroba.

Selama proses komposting sekitar 65% dari bahan organik dicerna oleh mikroba. Glukosa (C6H12O6) umum digunakan sebagai model dari dekomposisi aerobik oleh mikroba:

C6H12O6 + 6 O2> 6 CO2 + 6 H20    (hasil = karbon dioksida dan air)

Sisa bahan organik sebanyak 35% tidak dicerna dan menjadi kompos. Dengan bantuan oksigen, awalnya mikroba menghasilkan asam fulvat dan humat yang sangat larut dalam air dan berwarna yang selanjutnya bereaksi dengan senyawa humat yang kurang larut dalam air, basis dari humus.

Dekomposisi anaerobik mengikuti proses berikut:

C6H12O6> 3 CO2 + 3 CH4    (hasil = karbon dioksida dan metan)

Pencegahan terbentuknya metan, yang merupakan gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dari karbon dioksida, menjadikan komposting aerobik memenuhi syarat sebagai Clean Development Mechanism (CDM) project menurut Protokol Kyoto.

Teknologi Komposting Table

Project dihadapkan pada tantangan untuk mengolah sekitar 42,5 ton sampah organik per hari menjadi kompos berkualitas tinggi. Komposting teraerasi dapat dilakukan dalam windrow atau dalam suatu gundukan table.

Windrow membutuhkan banyak tempat, kelemahannya adalah aliran udara dua dimensi saat diaerasi dari pipa udara sentral. Di dalam windrow, kecepatan dan persediaan udara berkurang 20 kali lipat untuk setiap meter jarak dari udara. Komposting table memerlukan tempat yang lebih kecil dan aliran udara menyerupai aliran laminer satu dimensi, sehingga kondisi tumpukan kompos akan lebih homogen. Di fasilitas Gianyar, table kompos memiliki ketinggian 3 – 4 m, lebar 30 m dan panjang sampai 100 m.

Kelebihan table kompos lainnya adalah memungkinkannya proses komposting semi-kontinyu, sementara komposting windrow merupakan proses batch. Dengan membalikkan satu arah bagian dari table kompos secara teratur, bahan organik dipindahkan dari satu bagian ujung dimana bahan organik yang baru dicacah ditambahkan di ujung lainnya dimana kompos yang sudah matang dapat dipindahkan. Karena permukaan tanah yang lunak (fasilitas didirikan di atas tempat pembuangan sampah yang lama), project menggunakan excavator untuk membalik tumpukan kompos secara periodik. Grafik di bawah mengilustrasikan proses table yang semi-kontinyu.

proses01

Kebutuhan udara sangat tinggi selama fase komposting awal yang sangat aktif yang berlangsung selama 30 hari saat bahan organik diuraikan dengan cepat, tapi selanjutnya menurun saat proses pematangan kompos. Kapasitas blower dan sistem perpipaan dikalkulasi berdasarkan kebutuhan udara spesifik. Sebaiknya menggunakan blower radial karena tidak menimbulkan sentakan balik saat tekanan balik meningkat.

Kehilangan berat dan volume

Selama keseluruhan siklus pengolahan, bahan organik menyusut dan kehilangan beratnya. Penyusutan dan kehilangan berat tergantung pada komposisi bahan baku dan kondisi selama proses dekomposisi, terutama saat menyangkut panas.

Tipikalnya, pencacahan mengurangi volume dari bahan organik sampai 50% nya. Bagaimana pun juga, tergantung situasi dan kondisi, hanya pencacahan parsial yang diusulkan. Volume selanjutnya berkurang sampai sekitar 23% selama proses komposting. Karena itu, volume kompos matang hanya mencapai 12% dari volume sampah organik awalnya. Beratnya juga menyusut sampai sekitar 35%. Karena itu, 42,5 ton atau 183 m3 sampah organik diproses menjadi 15 ton atau 25 m3 kompos berkualitas.

Tata Letak Bangunan Komposting Gianyar

Di bawah, sistem aerasi dapat dilihat dengan blower, pipa pasokan dan outlet udara yang berjarak 2 meter. Tata letak bangunan ditentukan oleh aliran bahan dan – untuk melindungi para pekerja – arah angin yang berlaku.

proses02

Unduh


pdfTEMESI registration with the
Clean Development Mechanism (CDM)
pdfTechnology
Transfer
pdfISO 9000 type Quality
Controls System
pdfShortcomings of CDM
Composting Methodology

Open the official CDM website for the Temesi Recycling Project (Gianyar Waste Recovery Project No. 1885)
http://cdm.unfccc.int/Projects/DB/SGS-UKL1214472977.27/view

Decentralized Composting for Cities of Low- and Middle Income Countries a Users’ Handbook by SilkeRothenberger, Christian Zurbrügg et al
http://www.eawag.ch/forschung/sandec/publikationen/swm/dl/Rothenberger_2006_en.pdf

Determinants of sustainability in solid waste management – The Gianyar Waste Recovery Project in Indonesia by Christian Zurbrügg, David Küper et al
http://www.eawag.ch/forschung/sandec/publikationen/swm/dl/gianyar.pdf